Di sela rutinitasnya sebagai sopir, pada 1984, Uu Suwarna menyempatkan membeli seekor sapi perah. Lantaran dianggap sambilan, sapi itu ia pelihara ala kadarnya. Dua tahun berselang, Uu memutuskan untuk menseriusi memelihara ternak itu. Populasi pun ia tambah menjadi 4 ekor. “Tahun 1989, saya berhenti menjadi sopir, fokus menjadi peternak,” akunya.
Gayung bersambut, usaha Uu berkembang. Hanya dalam dua tahun jumlah sapinya bertambah menjadi 7 ekor. Kini, anggota Koperasi Peternak Sapi Perah Bandung Selatan (KPBS) ini sudah memiliki 15 ekor sapi perah. Dari jumlah itu, 8 ekor di antaranya sapi laktasi (produktif), 6 ekor pedet, dan seekor pejantan. Untuk memanjakan sapi-sapinya, Uu dibantu 4 orang tenaga kerja, yang digaji Rp300 ribu/orang/bulan.
Dari hasil pemerahan ke-8 ekor sapinya itu, setiap hari Uu mengumpulkan 120—140 liter. Harga susu yang ia terima saat ini rata-rata Rp2.250/lt. Tapi harga itu bisa lebih tinggi kalau kualitas susunya meningkat. Minimal TS 11,5% diberi bonus Rp150—Rp200/lt. Ditambah lagi, bila TPC-nya di bawah 1 juta, memperoleh Rp150/lt. “Sebaliknya, bila kualitasnya di bawah standar, harga turun,” ucap Uu.
Dari hasil penjualan susu, Uu memperoleh pendapatan Rp8 juta/bulan. Setelah dipotong biaya operasional, ia masih kebagian keuntungan Rp4 juta.
Untuk menjaga kualitas produksi, selain menjaga kesehatan kandang dan sapi, Uu memberikan pakan yang cukup. Setiap bulan, ia memberikan rumput 800 kg—1 ton, 900 kg—1,2 ton sisa tanaman jagung, dan 2,5 ton konsentrat. “Yang paling penting dalam peternakan sapi perah ini yaitu sanitasi,” urainya.
Pria asli Pangalengan, Bandung, ini mengaku beternak sapi saat ini masih menguntungkan. Ia mencontohkan, dengan modal awal Rp10 juta, kini aset usaha dia sudah berkembang menjadi Rp150 jutaan.(Dadang WI)
Sumber Berita :http://dadangbegang.multiply.com/journal/item/7
0 comments:
Post a Comment