Dengan harga yang murah, lantaran subsidi pemerintah, bahan bakar dari minyak bumi menjadi pilihan selama bertahun-tahun. Namun, ketergantungan impor dan kapasitas produksi dalam negeri yang tidak mampu mencukupi kebutuhan, menuntut dikembangkannya bahan bakar alternatif yang lebih murah dan dapat diperbarui.
Penggunaan bahan bakar nabati (BBN) mulai meluas di berbagai negara. Kesadaran itu pun muncul di Indonesia sejak krisis bahan bakar minyak pada 2005, dan terus meningkatnya impor bahan bakar.
Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku BBN. Sebagai produsen CPO atau minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia sangat potensial sebagai produsen BBN dengan memanfaatkan minyak berbasis sawit.
Selain sawit, masih ada lebih dari 50 jenis sumber minyak nabati yang potensial sebagai bahan baku BBN. Misalnya jarak pagar, singkong, tebu, kelapa, kedelai, kapok, dan bunga matahari. Namun, jarak pagar menjadi pilihan paling layak untuk dikembangkan, lantaran mempunyai beberapa keunggulan. Jarak pagar bisa hidup dan tetap produktif meski ditanam di tanah kritis dan tandus, seperti daerah NTT. Sementara luas lahan kritis di Indonesia diperkirakan telah mencapai 25 juta hektar.
Soal pasar, di dalam negeri, pada rapat gabungan 29 BUMN bidang Agro Industri (PT Perkebunan Nusantara I s/d IV, Perhutani, Inhutani I s/d V, PT PUSRI, Kertas Padalarang dan Leces), bidang energi (PLN, Pertamina, PT Antam, PT BA, PT Timah), pada 25 Agustus 2005, telah menandatangani nota kesepahaman untuk mengembangkan, membeli, mengolah jarak pagar sebagai komoditas strategis BBM terbarukan. Pasar ekspor apalagi, sangat terbuka.
Meskipun demikian, sosialisasi pengembangan BBN tidak akan berarti tanpa dukungan nyata dari pemerintah maupun swasta. Jadi, kapan kita mulai aksi nyata untuk memproduksi BBN dalam arti sebenarnya?Sumber Berita :http://dadangbegang.multiply.com/journal/item/6
0 comments:
Post a Comment