Perputaran uang dari kegiatan agribisnis perikanan di Waduk Cirata mencapai Rp1,3 triliun per tahun. Namun, lingkungan perairannya kini kian memburuk.
Cirata adalah salah satu waduk yang dibangun di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Citarum sendiri merupakan sungai terpanjang dan terbesar di Jawa Barat, dengan luas 6.080 km2 dan panjang 269 km.
Karena banyaknya debit air yang dialirkan oleh sungai yang bermuara di ujung Karawang itu, pemerintah membangun tiga bendungan untuk pembangkit listrik, yakni PLTA Saguling, Cirata, dan Jatiluhur.
Waduk Cirata yang dibangun pada 1982—1987 itu berada pada ketinggian 221 m dari permukaan laut. Luasnya 6.200 hektar (ha) dengan luas tangkapan air 603.200 ha, kedalaman rata-rata 34,9 m, dan volume 2.165 x 106 m3. Wilayah genangan airnya meliputi Kabupaten Cianjur, Purwakarta, dan Bandung. Namun, wilayah genangan air terluas berada di Cianjur.
Sejak menjadi genangan yang relatif permanen, Waduk Cirata merupakan badan air besar, dan mempunyai karakteristik ekositem perairan umum. Oleh sebab itu, Cirata memiliki berbagai potensi dibidang sosial ekonomi, seperti sumber pengairan sawah, air bersih, air minum, tempat budidaya ikan, wahana rekreasi, dan sarana perhubungan.
Lumbung Ikan Air Tawar
Waduk Cirata, yang mulai difungsikan pada 1988, sejatinya menyimpan potensi ekonomi yang tidak kecil. Akhir September 2006, Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, menyebutkan, usaha budidaya ikan di Cirata melibatkan tenaga kerja langsung sekitar 2.100 orang. Volume produksinya rata-rata 6.450 ton ikan per bulan, dan perputaran uang Rp1,3 triliun per tahun.
Budidaya ikan di Cirata dilakukan dengan sitem KJA (kolam jaring apung). Menurut catatan Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC), jumlah KJA di Cirata saat ini sudah mencapai 50 ribu kolam atau 12.500 unit. “Dari jumlah KJA itu, 60%-nya, atau 30 ribu kolam, berada di wilayah Cianjur,” ungkap Drh Chaerul Anwar, Kepala Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Cianjur.
Aktivitas perikanan budidaya di Cirata, menjadikan Cianjur sebagai lumbung ikan air tawar di Jabar. Dengan 30 ribu kolam, Cianjur menyumbang 39,5% terhadap produksi perikanan KJA Jabar. Dinas Perikanan Provinsi Jabar mencatat, produksi perikanan KJA Jabar pada 2007 sebanyak 143.931,54 ton. Dari jumlah itu, 56.893,91 ton diantaranya, senilai Rp353,05 miliar, berasal dari aktivitas di KJA Cianjur.
Geliat perekonomian yang dipicu oleh adanya kegiatan budiaya ikan di Cirata, telah memberi dampak ikutan yang luar biasa. Bisnis pakan misalnya. Para produsen seperti Suri Tani Pemuka (STP), Central Panganpertiwi (CPP), dan Sinta Prima, menghitung penyerapakan pakan ikan oleh para petani KJA Cirata sekitar 6.000—7.500 ton per bulan. Dengan harga terendah Rp4.500 per kg saja, omzet dari bisnis pakan mencapai Rp324 miliar—Rp405 miliar per tahun.
Dari puluhan agen pakan yang ada di seputar Cirata, dua diantaranya sempat ditemui AGRINA. Kedua agen tersebut termasuk kelas menengah dan besar. “Setiap hari rata-rata kami bisa menjual 15 ton, dengan omzet 500 ton per bulan,” aku Denny Tanamal, yang sudah menjadi agen pakan STP sejak 1999. Sedangkan volume penjualan pakan Sinta yang diageni oleh H. Endang Nur Ikhwan sejak 1996, di Kota Cianjur, di atas 1.000 ton per bulan.
Sesungguhnya, jenis pakan yang banyak beredar di Cirata sekitar 15 merk yang diproduksi lima pemain utama, yaitu Sinta, STP (Comfeed), CPP (Charoen), Cargill, dan Wonokoyo. Namun menurut Denny Tanamal, sekarang pakan kualitas satu jarang dipilih petani lantaran harganya tidak terjangkau. Oleh sebab itu, pakan yang beredar didominasi pakan murah yaitu kualitas dua dan tiga.
Banyak Komponen
Menurut Gatot Budiono, Sales Eksekutif Pakan Ikan Wilayah Cirata, PT Sinta Prima Feedmill, di luar pakan, masih banyak sarana produksi yang bisa diusahakan dari adanya kegiatan KJA di Cirata. Komponen pendukung budidaya yang menjadi ladang bisnis, antara lain benih ikan, jaring, bambu, pelampung (drum dan sterofoam), material bangunan, kantung plastik, gas O2, es balok, tong plastik untuk mengangkut hasil panen, sampai karet gelang.
Contohnya benih. Untuk memproduksi 120 ton ikan mas konsumsi per hari saja, Cirata membutuhkan pasokan benih minimal 6 ton. Dengan harga benih saat ini Rp20 ribu per kg, omzet penjulan benih per tahun mencapai Rp43,2 miliar. Belum lagi menghitung dari benih nila, bawal, dan jenis ikan lainnya. Namun, jenis ikan yang menjadi andalan para petani saat ini yaki ikan mas, nila, dan bawal.
Salah satu juragan benih ikan adalah H. Sulaeman. Pria yang sudah lima tahun bergelut di agribisnis perikanan itu mengaku, setiap hari mampu memasok benih ikan mas 1,5 ton, nila 2 ton, dan benih bawal 50 ribu—100 ribu ekor.
Benih ikan mas yang masuk Cirata berasal dari pembenih di Bandung dan Subang, Jabar. Menurut H. Asep Saefulloh, petani KJA di wilayah Jangari, kalau petani mau mengejar cepat besar, mereka memilih benih dari Subang. Sebab, waktu panen bisa lebih cepat dua minggu dibanding asal Bandung. Satu kg benih ikan mas asal Subang berisi 100 ekor. Sedangkan asal Bandung, rata-rata 200 ekor. “Harga benih dari Bandung, rata-rata lebih tinggi Rp1.000 per kg dibanding produk Subang,” ungkapnya.
Di luar itu, mereka yang kecipratan anugerah Cirata begitu banyak. Sebut saja tukang panggul pakan yang dibayar Rp5 per kg pakan, tukang bongkar benih dan hasil panen, dan pengusaha perahu. Demikian pula tukang parkir pakan, pemilik warung, kios pulsa, pemasok bahan makanan pokok, penjual BBM, dan pemilik angkutan umum.
Cirata memang menarik perhatian banyak orang. Padahal pemanfaatkan untuk budidaya ikan, awalnya diprioritaskan bagi warga yang daerahnya terendam. Namun kini pelaku bisnis KJA datang dari berbagai daerah, seperti Sukabumi, Tasikmalaya, Jateng, dan Toraja-Sulsel. “Sejak 2005, saya mengadu nasib di Cirata,” ucap Yayan Taryana, orang Sukabumi, yang mengupayakan 20 kolam bawal. “Saya datang dari Tasikmalaya dan mulai usaha di Cirata tahun 1996,” imbuh H. Asep Suryadi Mulya, pemilik 48 kolam ikan mas. Yang jelas, “Sekarang, pengusaha KJA lokal dan pendatang jumlahnya seimbang,” papar Chaerul.
Sampai Luar Pulau
Produksi ikan dari Cirata tidak hanya diserap konsumen di Cianjur. Tapi pemasaranya menembus ke Jakarta, Banten, Lampung, Sumsel, Jateng, Jatim, Kaltim, dan Papua. Meski demikian, sekitar 60% ikan Cirata, baik dalam bentuk hidup maupun segar, diserap pasar Jakarta.
H. Sulaeman misalnya, dalam sehari rata-rata memasok pasar Jakarta sebanyak 4,5 ton ikan nila campur bawal. Di Jakarta, ikan tersebut diedarkan kembali oleh 9 pedangang.
“Dalam beberapa tahun terakhir, saya lebih banyak memasok bawal dan nila. Sementara ikan mas tergantung ada tidaknya produksi dari petani,” tandas H. Sulaeman. Pasar lain yang ia garap yaitu Lampung yang dikirim dua hari sekali, Surabaya, dan Semarang.
Selain menjadi bandar, H. Sulaeman juga memasok benih, mengusahakan 20 unit KJA, dan bermitra dengan 60 petani lainnya. “Kalau dihitung, saya baru bisa membantu memasarkan produksi dari 160 petani,” akunya.
Nila dan bawal dipasarkan dalam keadaan mati namun masih segar (diblong). Sementara ikan mas bisa diblong atau masih hidup (dibalon/dikemas dalam kantung plastik beroksigen).
Akhir Mei lalu, harga ikan mas diblong sekitar Rp9.800—Rp10.000 per kg. Kalau dibalon, Rp11.000 per kg. Sedangkan harga bawal diblong berkisar Rp7.400—Rp7.500 per kg.
Sistem pembayaran kepada petani, dilakukan H. Sulaeman tiga cara: kontan, tunda sehari, atau kas bon. “Itu mah tergantung permintaan petani,” ucapnya. Sementara dari pembeli, rata-rata dibayar kontan, paling lama kirim sekarang bayar besok. Pria yang pada lima tahun lalu baru mampu menyewa satu unit KJA itu, mengaku, perputaran dari jual beli ikan saja sekitar Rp50 juta sehari.
Di wilayah Jangari, yang berperan menjadi bandar ikan ada lima orang. Sedangkan total se Cirata, menurut H. Sulaeman, sekitar 50 orang. “Dalam keadaan normal, Cirata mampu menghasilkan 200 ton beragam ikan. Jumlah itu ditampung oleh para bandar yang kemudian disebarkan ke berbagai daerah,” imbuhnya.
Perlu Penataan
Menurut H. Endang, kontribusi Cirata terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat itu sudah jelas. Ia sendiri, yang daerahnya ikut terendam, merasakan hikmah dari pembangunan Cirata.
Pada 1989 silam, H. Endang mulai terjun ke agribisnis dengan mengupayakan dua unit KJA. Kini, di Cirata saja, disamping mengelola 50 unit KJA, Pak Haji itu membina 15 sub agen pakan dan ratusan petani. Di samping itu, ia sedang mengembangkan pembenihan ikan secara modern dengan sistem indoor (tertutup).
Inovasi yang dilakukan H. Endang merupakan salah satu upaya perbaikan budidaya ikan di Cirata. Sebab, daya dukung ekosistem Cirata tidak sebaik era 80-an. Terlebih ketika Cirata porak-poranda oleh serangan penyakit akibat virus KHV (koi herpes virus), pada 2002 silam.
Para pelaku bisnis mengakui, kualitas lingkungan Cirata sudah menurun. Hal itu salah satunya tampak dari keberhasilan panen. Contoh ikan mas, tingkat keberhasilannya hanya 50%—62%. Sebelumnya bisa menembus 90%. Hal itu pula yang menjadi alasan beberapa petani beralih ke bawal. Selain tahan penyakit, umur panen bawal lebih cepat, hanya 40 hari. Sedangkan ikan mas, 3—4 bulan. Namun, harga bawal sangat pluktuatif,
Kepadatan KJA juga mempengaruhi terhadap daya dukung perairan. Mestinya, sesuai dengan SK Gubernur Jabar No. 41 Tahun 2002, jumlah KJA di Cirata hanya 12.000 kolam (1% dari luas perairan waduk). Memang, penurunan kualitas air Cirata juga disebabkan oleh limbah pabrik, sampah rumah tangga, dan erosi dari hulu.
“Sampai sekarang kami kesulitan untuk menata jumlah KJA. Sebab pengurangan itu harus dibarengi dengan penyediaan lapangan kerja baru,” kilah Chaerul. Yang jelas, lanjut dia, keberlangsungan Cirata menjadi tanggung jawab semua pihak terkait.
Walupun masih bermasalah, peluang usaha KJA masih terbuka. Sebab, dari jumlah kolam yang ada, menurut Gatot, yang aktif hanya 40%—50%. Pemodal baru bisa memanfaatkan dengan sewa Rp8 juta per unit atau dibeli. Tentu, agar berhasil, para pemain harus berpacu dengan penyakit dan pergantian musim yang membawa upwelling (arus balik). (dadang wi)Sumber Berita :http://dadangbegang.multiply.com/journal/item/11
0 comments:
Post a Comment